Jaksa mengungkap perbuatan maksiat dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap dengan mencuri uang perusahaan Boeing melalui Being Community Investment Fund (BCIF) menyerahkan dana Rp 138 miliar kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk pembangunan fasilitas sesuai dengan permintaan ahli waris korban Lion Air 610. Namun, menurut jaksa, dari jumlah itu, hanya Rp 20 miliar yang benar-benar disalurkan untuk kegiatan tersebut. Hal itu diungkap jaksa saat membacakan surat dakwaan mantan Presiden ACT Ahyudin dalam perkara penggelapan dana donasi Boeing untuk ahli waris korban Lion Air 610 di PN Jaksel, Selasa (15/11/2022).
Jaksa mengungkapkan ada dana dari Boeing 737 untuk korban Lion Air JT610 yang dihibahkan ke Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak sesuai peruntukannya. Jaksa mengatakan, selain untuk pembangunan, dana itu dipakai untuk memberi gaji karyawan ACT hingga koperasi syariah 212. Hal itu terungkap dalam dakwaan jaksa terdakwa mantan Presiden ACT Ahyudin, Presiden ACT Ibnu Khajar, dan petinggi ACT Hariyana Hermain, yang dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022). Awalnya, jaksa menerangkan korban Lion Air JT610 itu ada 189 orang, di mana Boeing memberikan dana sebesar USD 25 juta sebagai bantuan finansial untuk keluarga atau ahli waris korban kecelakaan Lion Air JT610.
Selain itu, Boeing memberikan dana USD 25 juta sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF), yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan. Dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, namun diterima oleh organisasi amal atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban. Lembaga filantropi yang ditunjuk Boeing adalah ACT.
Singkat cerita, ahli waris korban mendapatkan santunan dari Boeing, yaitu masing-masing sebesar USD 144.320 atau setara dengan Rp 2 miliar. Santunan itu diterima langsung oleh ahli waris sendiri. ACT sebagai lembaga filantropi juga mendapat USD 144.500 sesuai dengan persetujuan para keluarga korban. ACT mengatakan uang itu akan diperuntukkan buat membangun fasilitas sosial.
Keluarga korban Lion Air pun menyetujui pencairan dan meminta ACT membangun sarana pendidikan dengan menggunakan anggaran dana CSR dari perusahaan Boeing adalah sebanyak 68 ahli waris. Untuk mencairkan uang tersebut, ACT juga melalui berbagai tahapan, termasuk membuat proposal. Di proposal tersebut, ACT mengusulkan akan membangun 68 fasilitas sosial dan pendidikan sebagaimana keinginan keluarga korban.
“Bahwa atas proposal atau pengajuan dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang diketahui oleh Terdakwa Drs Ahyudin, Saksi Ibnu Khajar, dan Saksi Hariyana binti Hermain tersebut, pihak Boeing menyetujuinya dan pada tanggal 25 Januari 2021 pukul 16:53:14 Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mendapatkan pemindahbukuan dari rekening 564234573 GIRO NOSTRO USD DI CITIBANK I THE LAW OFFICES OF KENNETH R. ATTOR I IT5ITR0000947321 I sebesar Rp 138.546.388.500 (miliar) yang ditransferkan ke rekening atas nama Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebesar Rp 138.546.388.500 (miliar) dalam rentang waktu tanggal 28 Januari 2021 sampai tanggal 29 April 2021,” ungkap jaksa.
Untuk membangun 68 bangunan yang diusulkan dalam proposal itu, ACT menggandeng sejumlah perusahaan konstruksi yang mengajukan penawaran berisi rencana anggaran biaya (RAB) ke ACT. ACT dan perusahaan konstruksi itu pun menyetujui enam proyek pengerjaan pembangunan. Jaksa mengatakan nilai proyek ACT tersebut jauh lebih kecil dari jumlah uang yang diterima ACT. Sebab, di proposal ACT menuangkan rencana pembangunan 68 fasilitas, namun kesepakatan dengan perusahaan konstruksi hanya mengerjakan enam proyek.
“Bahwa nilai rencana anggaran biaya pembangunan fasilitas pendidikan yang disetujui oleh Terdakwa Ibnu Khajar selaku Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tersebut jauh lebih kecil dari nilai jumlah uang yang diterima oleh Yayasan ACT dari pihak Boeing, padahal Terdakwa Ibnu Khajar mengetahui penggunaan dana BCIF tersebut harus sesuai dengan implementasi program Boeing dan pengeluaran biaya administrasi harus bernilai wajar dan biasa,” jelas jaksa.
Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Ahyudin melakukan perbuatan itu bersama-sama dengan Presiden ACT Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain (HH), yang disebut sebagai salah satu Pembina ACT dan memiliki jabatan tinggi lain di ACT, termasuk mengurusi keuangan. Tuntutan untuk tiap terdakwa itu dilakukan terpisah. Perbuatan terdakwa bermula saat ahli waris korban Lion Air 610 mendapatkan santunan dari Boeing masing-masing USD 144.320 atau setara Rp 2 miliar. Santunan itu diterima langsung ahli waris sendiri.
ACT sebagai lembaga filantropi juga mendapat USD 144.500 sesuai dengan persetujuan para keluarga korban. ACT mengatakan uang itu akan diperuntukkan buat membangun fasilitas sosial. Keluarga korban Lion Air pun menyetujui pencairan dan meminta ACT membangun sarana pendidikan dengan menggunakan anggaran dana CSR dari perusahaan Boeing adalah sebanyak 68 ahli waris. Untuk mencairkan uang tersebut, ACT juga melalui berbagai tahapan. Termasuk membuat proposal, di proposal tersebut ACT mengusulkan akan membangun 68 fasilitas sosial dan pendidikan sebagaimana keinginan keluarga korban.
“Bahwa atas proposal atau pengajuan dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang diketahui oleh terdakwa Drs Ahyudin, saksi Ibnu Khajar, dan Saksi Hariyana binti Hermain tersebut, maka pihak Boeing menyetujuinya dan pada tanggal 25 Januari 2021 pukul 16.53:14 Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mendapatkan pemindahbukuan dari Rekening 564234573 giro nostro USD di Citi Bank I The Law Offices of Kenneth R. Attor I IT5ITR0000947321 I sebesar Rp 138.546.388.500 (miliar) yang ditransferkan ke rekening atas nama Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebesar Rp 138.546.388.500 (miliar) dalam rentang waktu tanggal 28 Januari 2021 sampai dengan tanggal 29 April 2021,” ungkap jaksa.
Untuk membangun 68 bangunan yang diusulkan dalam proposal itu, ACT menggandeng sejumlah perusahaan konstruksi yang mengajukan penawaran berisi rencana anggaran biaya (RAB) ke ACT. ACT dan perusahaan konstruksi itu pun menyetujui 6 proyek pengerjaan pembangunan. Jaksa mengatakan nilai proyek ACT tersebut jauh lebih kecil daripada jumlah uang yang diterima ACT. Sebab, di proposal, ACT menuangkan rencana pembangunan 68 proyek, namun kesepakatan dengan perusahaan konstruksi hanya mengerjakan enam proyek. “Bahwa nilai Rencana Anggaran Biaya pembangunan fasilitas pendidikan yang disetujui oleh Terdakwa Ibnu Khajar selaku Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tersebut jauh lebih kecil dari nilai jumlah uang yang diterima oleh Yayasan ACT dari pihak Boeing, padahal Terdakwa Ibnu Khajar mengetahui penggunaan dana BCIF tersebut harus sesuai dengan implementasi program Boeing dan pengeluaran biaya administrasi harus bernilai wajar dan biasa,” jelas jaksa.
Di sinilah, jaksa mengungkap sejatinya Ahyudin bersama Presiden ACT Ibnu Khajar mengetahui dana BCIF dari Boeing itu harus disalurkan sesuai dengan peruntukannya yang tertera di dalam proposal. Namun, menurut jaksa, ACT justru menggunakan sebagian uang itu untuk keperluan lembaganya.
“Bahwa terdakwa Drs Ahyudin bersama-sama dengan saksi Hariyana binti Hermain dan saksi Ibnu Khajar yang mengetahui penggunaan dana BCIF harus sesuai dengan peruntukannya sebagaimana tertulis dalam Protocol BCIF April 2020 pada kenyataannya tetap memproses pengajuan dan pencairan dana pembangunan fasilitas pendidikan program implementasi Boeing tersebut sekalipun mengetahui nilai RAB yang disetujui oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) jauh di bawah nilai proposal yang diajukan dan yang diterima oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari pihak Boeing,” kata jaksa.
Jaksa menjabarkan berdasarkan Laporan Akuntan Independen Atas Penerapan Prosedur Yang Disepakati Bersama Mengenai Penerimaan dan Pengelolaan Dana BCIF BOEING Tahun 2018-2021 oleh akuntan Gideon Adi Siallagan tertanggal 8 Agustus, ditemukan uang sejumlah Rp 138,5 miliar dana BCIF yang diterima oleh dari Boeing. Dalam jumlah tersebut, menurut jaksa, hanya Rp 20,5 miliar yang diimplementasikan untuk kegiatan Boeing.
“Bahwa kemudian berdasarkan ‘Laporan Akuntan Independen Atas Penerapan Prosedur Yang Disepakati Bersama Mengenai Penerimaan dan Pengelolaan Dana BCIF BOEING Tahun 2018 sampai dengan 2021’ oleh akuntan Gideon Adi Siallagan. M. Acc. CA. CPA tanggal 8 Agustus 2022 ditemukan bahwa dari jumlah uang sebesar Rp 138.546.388.500 (seratus tiga puluh delapan miliar lima ratus empat puluh enam juta tiga ratus delapan puluh delapan ribu lima ratus rupiah) dana BCIF yang diterima oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari Boeing tersebut yang benar-benar digunakan untuk implementasi kegiatan Boeing adalah hanyalah sejumlah Rp 20.563.857.503,” papar jaksa.
Sementara sisanya, kata jaksa, digunakan Ahyudin bersama Ibnu Khajar dan Hariyana bukan untuk kepentingan fasilitas sosial. Uang sisanya itu sejumlah Rp 117,5 miliar. “Sedangkan sisa dana BCIF tersebut digunakan oleh terdakwa Drs Ahyudin bersama-sama dengan saksi Ibnu Khajar dan saksi Hariyana tidak sesuai dengan implementasi Boeing dan malah digunakan bukan untuk kepentingan pembangunan fasilitas sosial sebagaimana yang ditentukan dalam Protocol BCIF adalah sebesar Rp 117.982.530.997 (miliar),” ujar jaksa.
Jaksa mengatakan proses pencairan dana di luar implementasi dana Boeing tersebut dilakukan oleh Ahyudin selaku Presiden GIP dengan cara memberi instruksi melalui chat/panggilan WhatsApp ataupun lisan kepada Hariyana selaku Vice President GIP. “Padahal terdakwa Ahyudin dan saksi Hariyana, serta dengan sepengetahuan saksi Ibnu Khajar selaku Presiden ACT, padahal mereka mengetahui bahwa dana BCIF tersebut tidak boleh digunakan untuk peruntukan lain selain untuk kegiatan implementasi Boeing namun saksi Hariyana tetap meneruskan instruksi tersebut kepada saksi Echwan Churniawan selaku Bendahara Yayasan ACT sehingga tim keuangan memprosesnya agar dapat dilakukan pencairan, di mana dana tersebut dipergunakan di luar peruntukan kegiatan,” tegas jaksa.
Jaksa mengungkap awal mula Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) bisa mengelola uang dari Boeing yang ditujukan untuk korban Lion Air 610. Jaksa menyebut ACT ditunjuk perusahaan Boeing menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial atau (Boeing Community Investment Fund). Hal itu diungkap jaksa saat membacakan surat dakwaan mantan Presiden ACT Ahyudin dalam perkara penggelapan dana donasi Boeing untuk ahli waris korban Lion Air 610 di PN Jaksel, Selasa (15/11/2022).
Mulanya, jaksa menjabarkan, pada 29 Oktober 2018, terjadi insiden pesawat jatuh, yakni Lion Air dengan nomor penerbangan 610 setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia. “Bahwa pada tanggal 29 Oktober 2018, maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, telah jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia. Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia,” ungkap jaksa. Atas insiden itu, The Boeing Company atau Boeing menyediakan dana sebesar USD 25 juta melalui Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk keluarga atau ahli waris korban kecelakaan Lion Air 610. Selain itu, Boeing memberikan dana sebesar USD 25 juta sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terkena dampak dari kecelakaan.
“Di mana dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban,” lanjut jaksa. Boeing kemudian menyerahkan proses dana itu kepada administrator dari BCIF bernama Feinberg dan Biros. Mereka berdua ditunjuk untuk menentukan badan amal yang akan didanai dengan uang yang diberikan Boeing untuk BCIF itu.
“Terkait hal tersebut, Boeing telah mendelegasikan kewenangan kepada Administrator dari BCIF, yaitu Mr Feinberg dan Ms Biros untuk menentukan program individual, proyek, atau badan amal yang akan didanai dengan uang yang diberikan Boeing untuk BCIF dan untuk mengawasi penggunaan dana tersebut agar digunakan dengan benar,” ujarnya. Sejatinya, kata jaksa, Boeing telah menentukan syarat yang harus dipenuhi para penerima dana, di mana uang itu tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi. Akan tetapi Boeing dalam hal ini tidak menentukan persyaratan untuk memilih atau mengawasi administrasi penggunaan BCIF.
“Boeing telah menentukan persyaratan-persyaratan mendasar yang harus dipenuhi oleh para penerima dana, termasuk kondisi di mana uang tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi setiap individu, namun Boeing tidak menentukan persyaratan untuk memilih atau mengawasi administrasi penggunaan BCIF,” ujarnya. Tiap ahli waris korban Lion Air 610 mendapat santunan dari Boeing sebesar USD 144.320 atau senilai Rp 2 miliar. Tak hanya itu, ahli waris juga mendapat santunan berupa dana sosial BCIF dari Boeing.
“Bahwa kemudian sebanyak 189 keluarga korban selaku ahli waris telah mendapatkan santunan dari perusahaan Boeing, yaitu masing-masing ahli waris mendapatkan dana sebesar USD 144.320 (seratus empat puluh empat ribu tiga ratus dua puluh dolar Amerika) atau senilai Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) (kurs Rp 14 ribu), di mana santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris sendiri. Selain itu ahli waris juga mendapatkan dana santunan berupa dana sosial BCIF dari perusahaan Boeing,” ungkap jaksa.
Pihak ACT lalu menghubungi keluarga korban dan mengatakan telah ditunjuk dari Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari Boeing. Pihak ACT, sebut jaksa, juga meminta keluarga korban merekomendasikan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kepada pihak perusahaan Boeing.
“Yang mana selanjutnya secara aktif pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menghubungi keluarga korban dan mengatakan bahwa Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) telah mendapatkan amanah (ditunjuk) dari perusahaan Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari perusahaan Boeing dan meminta keluarga korban untuk merekomendasikan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kepada pihak perusahaan Boeing, ” tuturnya.
Dalam perjalanannya, ACT meminta pihak keluarga korban menyetujui dana sosial sebesar USD 144.500. Ahyudin dkk mengatakan ke keluarga korban bahwa dana akan digunakan untuk pembangunan fasilitas sosial. “Selanjutnya, atas petunjuk dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), keluarga korban diminta untuk mengisi formulir yang formatnya didapat dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), kemudian e-mail yang dikirimkan ke pihak perusahaan Boeing atas petunjuk pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di dalam e-mail tersebut disebutkan dengan jelas bahwa dana sosial/BCIF yang diminta untuk dikelola oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah sebesar USD 144.500,” ujar jaksa.
“Kemudian keluarga korban diminta pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen/formulir pengajuan, yang harus dikirim melalui e-mail ke perusahaan Boeing, agar dana sosial/BCIF tersebut dapat dicairkan oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan dapat dikelola oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk pembangunan fasilitas sosial,” ungkap jaksa. Jaksa mengatakan fasilitas sosial itu berupa pembangunan sarana pendidikan yang menggunakan anggaran dana CSR dari perusahaan Boeing yang sejatinya untuk 68 ahli waris korban Lion Air. Namun, setelah dana cair, sebagian uang tersebut tidak digunakan untuk membangun fasilitas seperti yang dijanjikan kepada keluarga korban, tetapi untuk beberapa keperluan ACT, salah satunya untuk membayar gaji dan tunjangan hari raya (THR) karyawan.
Karena itu, Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Hariyana bersama-sama didakwa menggunakan dana Boeing sebesar Rp 117 miliar untuk dipakai di luar peruntukannya. Ahyudin dkk didakwa melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 372 KUHP